Chapter 2 : Dia adalah Akbar

Akbar tidak pernah membenci Mega.
Perasaannya pada cewek itu sama seperti perasaan sebatang pohon yang ditumbuhi benalu. Betapapun Mega mengganggu hidup Akbar hingga sedemikian parahnya, Akbar tetap tak bisa menyingkirkan cewek itu walaupun dia ingin.
Mega itu seperti rumput liar di mata Akbar. Tanaman yang tumbuh hampir di semua tempat dan sangat sulit di basmi. Dia bisa dengan mudah membuat Akbar sakit kepala hanya dengan melihat tingkah anehnya. Namun sekali lagi, Akbar tak pernah membenci Mega. Dia tak bisa membenci cewek itu.
"Bar, nanti sore kita jalan yuk," Mega menghampiri meja Akbar dengan senyum mengembang. "Ada kafe baru deket komplek rumah aku. Akbar suka cokelat kan? Banyak kue rasa cokelat di sana."
Akbar menghela napas kasar, langsung menelungkupkan kepalanya pada meja, memasang akting payahnya sekali lagi seolah-olah Mega tak ada di sana.
"Ihh Akbar, lo denger gue nggak sih!?" Mega menggoyang-goyangkan lengan Akbar, berusaha membuat perhatian cowok itu teralih padanya.
"Ga... mending lo jangan ganggu Akbar dulu deh hari ini, dia lagi badmood habis ditolak Ralen." Faris yang duduk di sebelah Akbar langsung bicara karena Mega tak kunjung berhenti.
Akbar yang mendengar hal itu langsung bangkit dari akting palsunya dan mencoba menendang kaki Faris di bawah meja, namun meleset. Cowok yang tak kalah tingginya dari Akbar itu keburu berlari ngibrit keluar kelas dengan gelak tawa yang keras, merasa menang karena sudah berhasil membuat Akbar emosi.
"What!?" Mega kaget, ia menatap Akbar tak percaya. "Akbar, kamu nembak Ralen?"
"Sialan lo, Ris!" Teriak Akbar kesal.
...dan suara tawa Faris makin tak terbendung kala mendengar makian itu dari luar kelas.
"Shit!"
Akbar duduk dengan marah sambil mengusak rambutnya kesal. Ia mendongak dan melihat Mega berdiri diam di sampingnya tak mengucap apapun dari sudut matanya. Akbar lalu menatap cewek itu, tak tahu harus berkata apa. Ada sebagian kecil dari hatinya yang ingin menenangkan Mega dan ada lagi sebagian kecil lain yang tak ingin menyakiti perasaan cewek itu.
Namun, sebelum Akbar sempat buka suara, netranya menangkap sebuah senyuman tertarik di sudut-sudut bibir Mega. Senyum yang membuat perasaannya makin tak enak.
"Akbar, hari ini mendung. Kayaknya bakal hujan. Aku bawa payung nih... kamu mau?"
Akbar menoleh pada jendela dan mendapati mendung menyambutnya. Wajah kesalnya tadi menghilang tanpa jejak.
"Buat lo aja." Katanya singkat dengan nada datar.
Senyum Mega tidak pudar saat mendengar jawaban itu, namun malah mengembang makin lebar. Ia meletakkan payung hijau motif bunga dari tasnya dan meletakkan payung itu di atas meja Akbar.
"Aku tau ko." Cewek itu mengangguk sok paham. "Kamu pasti nggak mau aku kehujanan kan?"
Mega menyentuh wajah Akbar dan mencubiti pipinya gemas.
"Aku baru tau deh ternyata kamu perhatian banget sama aku. Aku jadi makin sayang sama kamu."
Akbar melepaskan tangan Mega dengan kasar. Ia menatap cewek itu kesal.
"Apaan sih! Bukan muhrim tau nggak!"
...dan Mega hanya tertawa seolah itu hanya sebuah lelucon.
Ia melangkah mundur dan keluar dari kelas dengan sebuah gelak tawa bahagia.
"Akbar, payungnya jangan lupa dipake ya?" Katanya sebelum keluar dari kelas.
"Udah gue bilang kalo gue nggak butuh. Maksa amat sih!"
Akbar mengambil tasnya lalu berjalan keluar dari kelas dengan langkah cepat, membiarkan payung hijau motif bunga itu tergeletak di atas meja, tak tersentuh.

Komentar