Chapter 1 : Dia adalah Mega

"Akbar!"
Langkah Akbar terhenti dalam nano detik.
Cowok tinggi itu menyempatkan diri untuk mendengus kesal sambil memutar bola mata dengan gaya berlebihan sebelum kembali meneruskan langkahnya dengan lebih cepat. Tak peduli jikalau teriakan atas namanya itu bisa berubah menjadi timpukan tas pada kepalanya beberapa detik kemudian.
Bugh!
"Aw!"
Akbar mengaduh sambil mengusapi belakang kepalanya yang tak seberapa  sakit, cukup untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu dilemparkan padanya untuk membuatnya berhenti melangkah, bukan untuk melukainya. Ia menoleh secepat kilat ke belakang dengan mata memicing marah.
Cewek pendek-sadis pelaku pelemparan tas itu adalah Mega.
"Apa-apaan sih, Ga!" Katanya sengak.
...dan cewek sadis berambut bergelombang sepundak itu tersenyum cerah seperti matahari sebelum berlari riang dan menggamit lengan Akbar di tangannya dengan erat. Tak peduli bahwa wajah cowok yang ia gandeng sedang berada pada tahap marah semarah-marahnya.
"Salah sendiri ninggalin gue, udah gue panggil-panggil bukannya nyaut malah jalan terus." Katanya, malah menyalahkan Akbar. Senyum di bibirnya makin lebar melihat Akbar bersungut malas.
Akbar segera melepas tangan Mega dengan muak dan melangkah lebih cepat dengan kaki panjangnya.
"Bar! Akbar iiih!!"
Mega menghentakkan kakinya kesal, menatap punggung Akbar yang perlahan mengecil di pelupuk matanya. Ia menghela napas kasar, bersiap untuk kembali mengejarnya.
Lagi... lagi... dan lagi seolah kata menyerah adalah hal yang tabu bagi Mega.
"AKBAR IHH! TUNGGUIIIN!"
.
.
.
"Ga... mending lo berhenti deh." Adalah ucapain pertama Aruna pada Mega yang sibuk mengentakkan kakinya tak sabaran pada lantai, matanya tak kunjung lelah menatap pada lorong masuk kantin, beberapa kali kemudian mendengus dan mendesah lelah, namun hanya sebentar sebelum berulang ke rutinitas awalnya tadi. Hal barusan adalah semua kebiasaan buruk Mega saat sedang tak sabar menunggu seseorang.
"Ga... hoy, Ega!"
"Iya?" Mega menoleh, langsung nyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang gingsul di bagian kanan. Rambut kecoklatan sepundaknya bergoyang pelan saat dia menoleh pada Aruna, membuat cewek dingin-teman baiknya itu tak tega bahkan untuk sekadar melampiaskan kekesalannya tadi. Aruna menghela napas lelah.
"Ngapain sih Lo nungguin Akbar lagi?" Tanyanya, memperhatikan Mega dengan seksama.
Yang ditanya mengangkat bahu, menjawab dengan gelagat tak tahu, karena menunggu Akbar sudah jadi rutinitas wajib baginya. Senyumnya makin lebar saat nama Akbar disebut.
"Akbar nggak bakal ke kantin karena tau lo bakal ada di sini buat gangguin dia makan," Aruna menjawab seolah sudah tahu apa yang hendak ditanya Mega di detik selanjutnya.
"Ihh kok gitu sih," Mega manyun, bibirnya maju beberapa senti, membuatnya terlihat imut seperti anak kecil lima tahun yang merajuk.
"Ga... lo sadar gak sih kalau cinta lo bertepuk sebelah tangan?"
...bukannya makin murung, Mega malah tertawa. Keras, nyaring, membuat anak-anak lain yang sedang sibuk makan menoleh padanya dengan tatapan ingin tahu. Mega cuek saja, ia menopang dagunya dengan dua tangan dan mengedip-ngedip seperti orang kelilipan pada Aruna.
"Menurut lo~~?"
"Apaan sih Ga pake liatin gue gitu! Aneh tau nggak!?" Aruna merinding melihat tatapan Mega.
"Habisnya lo kan tau jawabannya tapi pakek nanya lagi-nanya lagi," katanya. Tak menjawab pertanyaan Aruna satu pun.
Aruna memutar matanya dengan gaya super malas.
"Aru... Ega Kecil selalu akan sayang sama Akbar walau sudah ditolak berkali-kali. Inget itu!"
...dan ucapan Mega yang sudah tamat ia hapal di kepala kembali membuat Aruna yang biasanya dingin memasang wajah masam melihat kebodohan sahabatnya itu.

Komentar