Saat seorang remaja cewek berumur kisaran antara 14-17 tahun ditanya tentang alasannya suka dengan seorang cowok, para remaja cewek yang normal pasti akan langsung bilang tanpa ragu...
"Karena ganteng!" Lengkap dengan wajah memerah menahan senyum sambil membayangkan cowok yang ditaksir di dalam kepala mereka masing-masing.
Lain lagi halnya saat seorang wanita dewasa ditanyai dengan pertanyaan yang sama. Kebanyakan dari mereka biasanya akan menjawab tenang dan rasional sambil tersenyum cantik, menatap ke arah kamera, "Karena mapan dan pastinya cinta sama aku."
Kemudian, pertanyaan itu terus digulirkan hingga sampai ke hadapan cewek pendek dengan rambut bergelombang sebahu bernama Mega, yang dijawab cewek itu dengan senyum ceria dan kedipan mata genit khas dirinya
"Of course karena Akbar cuma ditakdirkan buat Mega."
Alasan yang sama sekali bukan alasan. Sangat Mega sekali.
.
.
.
"Ega! Buruan ah, lama bener!" Aruna tak suka bicara, apalagi berteriak. Ia benci mengatakan kalimat panjang dari mulutnya karena menganggap bicara adalah sebuah kegiatan yang buang-buang energi.
"Bentaran Ru! Tali sepatu gue lepas nih! Duluan aja bareng Dewa!" Mega berjongkok dan membenahi tali sepatunya.
Cewek itu mendongak dan melihat Aruna yang menatapnya lelah sambil memutar bola mata, namun cewek cantik yang irit bicara itu tetap berdiri di sana tanpa melangkah seinci pun walau Dewa sudah mendesaknya untuk masuk ke dalam sekolah sesuai perintah Mega.
Mega tersenyum lebar. Selesai dengan tali sepatunya, ia segera berdiri dan bersiap berlari kecil untuk menghampiri Aruna sebelum netranya menangkap bayangan sebuah mobil mahal berwarna hitam berhenti di depan sekolah dan tak berapa lama, seorang cowok jangkung turun dari mobil itu lalu berdiri di pinggir jalan di bawah pohon besar di depan sekolah.
Mata cowok itu agak memerah dan berair, seolah mau menangis. Dia menggigit bibir bawahnya ketat sambil mengeratkan pegangannya di tali ranselnya. Mega yang melihatnya langsung terkekeh.
"What? Lucu amat."
Langkah Mega berbelok menuju pada cowok itu.
"Ega!" Aruna kembali berteriak, kali ini wajahnya benar-benar kesal setengah mati dan hentakan kaki ke atas bumi.
"Aru, lo duluan aja deh! Gue ke sana bentar, oke?!" Mega berlalu tanpa menunggu jawaban Aruna.
Langkah kaki Mega membawanya tepat ke hadapan cowok jangkung itu.
Mata bernetra hitam Mega memperhatikan cowok itu secara detail. Wajahnya, gayanya, sikapnya.
Aneh.
Bagi Mega, semua yang ada pada cowok itu kelihatan aneh.
Dia punya postur tubuh yang terlalu tinggi, matanya saat itu terlalu merah, dan gelagatnya terlalu kaku. Kalau Mega perhatikan sekali lagi dengan lebih teliti, maka dia akan bisa melihat tangan gemetar cowok itu saat memegangi tali ranselnya.
Senyum Mega mengembang. Ia berdiri di hadapan cowok itu lalu mengangkat satu tangannya sebatas bahu, menyapanya.
"Hai! Anak baru ya?"
Cowok dengan mata merah berair seolah hendak menangis itu menatap Mega sepersekian nano detik sebelum membuang wajahnya ke samping, menolak bicara.
"Ohoo jutek bener," Mega mengerutkan keningnya sambil tersenyum geli. Cewek itu meraih tangan si cowok jangkung dan menggenggamnya paksa sambil menggerakkan tangannya naik-turun.
"Nama gue Mega, lo... Akbar ya?"
Tingkah Mega langsung mendapatkan tatapan tak nyaman dari cowok jangkung bernama Akbar itu.
"Tau darimana?" Akbar langsung melepas tangannya dari tangan Mega cepat dan menatap cewek pendek itu was-was.
"That!" Mega menunjuk name-tag yang ada di dada kanan Akbar dengan dagunya.
Akbar mundur satu langkah, menjaga jaraknya dan Mega agar tidak terlalu dekat.
"So?"
"Ikut gue yuk! Lo liat cowok dan cewek di sana? Mereka temen-temen gue. Yang cewek namanya Aruna, sedangkan yang cowok itu juara umum nasional tingkat SMP loh, namanya Dewa. Gua kenalin ayo."
Menanggapi perkataan Aruna, kening Akbar mengernyit.
"Dia jadi juara umum nasional karena gue gak pernah sekolah di sekolah umum." Katanya dingin.
Akbar lalu menolehkan kepalanya pada Dewa dan menatapnya dengan sinar persaingan yang terlihat jelas di matanya. Sebelah alis Mega naik, beriringan dengan kekehan kecilnya yang makin membesar tiap detik berlalu. Cewek itu menatap Akbar dengan sorot lucu akibat mendengar perkataan penuh percaya diri dari Akbar.
"Ayo, gue kenalin ke mereka."
Mega kembali menggamit lengan Akbar, namun kali ini cowok jangkung itu berhasil berkelit cepat.
"Gue nggak temenan sama rival gue." Kata cowok itu tanpa senyum di wajahnya. Ada sorot penuh keyakinan di mata merah berair itu. Tanpa menunggu Mega, Akbar lalu melangkah dengan percaya diri sendirian, membiarkan Mega yang terdiam berdiri mematung menatap punggung tegapnya.
Mega berkedip beberapa kali. Hanya suara jantungnya yang berdegup kencang yang bisa dia dengar di telinganya. Bibir tipis Mega membuka tipis.
"Wow "
Tangannya tanpa sadar terangkat dan menyentuh dada kirinya, tempat di mana jantungnya berdebar sedemikian kerasnya.
Sebelumnya || Rainy Days ||
Komentar